Kontradiksi dalam Jiwa Manusia

 

Kontradiksi dalam Jiwa Manusia


Syahadat.id - Sebagai salah satu makhluk ciptaan Allah, manusia adalah makhluk-Nya yang terbaik karena eksistensi akal dalam diri mereka. Akal manusia menjadi objek taklif, dan dengannya, ilmu yang menjadi sumber kemuliaan makhluk disisi-Nya dapat diperoleh. Karena itu, melalui ilmu manusia bisa menjadi makhluk yang paling mulia (al-tiin, 4), atau bahkan menjadi makhluk yang lebih buruk dari hewan (al-A’raf, 179).

Tidak seperti makhluk yang lain, manusia diberikan kesempatan untuk memilih atau ikhtiyar. Hal ini karena ketika jiwa manusia disempurnakan, Allah memberikan ilham kebaikan dan keburukan padanya (al-Syams, 7-8). Ilham itu sendiri, menurut al-Razy, adalah sesuatu yang dimasukan oleh Allah pada hati manusia. Dalam konteks ini, Allah telah memberikan suatu pemahaman terhadap jiwa mengenai dua hal yang kontradiktif, yaitu kebaikan dan keburukan (1420 H). 

Abdurrazzaq menyebutkan bahwa sisi buruk dalam jiwa manusia diwakilkan oleh al-nafs al-ammarah bi al-suu’ (1434H). Ia adalah jiwa tercela yang ada dalam diri manusia. Jiwa ini selalu mengajak pada keburukan, yang akan berujung pada kehancuran seorang manusia kelak. Seseorang tidak dapat terlepas dari belenggunya, melainkan karena taufiq Allah (al-Nur, 21). 

Sebagai lawannya, Allah menciptakan jiwa yang tenang dalam diri manusia yang dinamakan al-nafs al-muthmainnah. Tatkala al-nafs al-ammarah membujuk pada keburukan, al-nafs al-muthmainnah akan melarangnya. Karena itu, jiwa manusia kadang mengikuti al-ammarah, dan kadang mengikuti al-muthmainnah (Abdurrazzaq, 1434H). 

Kedua jiwa ini akan terus saling bertentangan, dan berkonfrontasi. Ketika salah satunya melemah, sisi lainnya akan menguat. Ketika salah satunya diikuti, sisi jiwa yang lainnya akan merasa perih.

Hal ini yang paling berat bagi al-nafs al-ammarah adalah amal ikhlas karena Allah, serta mengutamakan ridla-Nya dari hawa nafsunya. Di sisi lain, hal yang terberat bagi al-nafs al-muthmainnah adalah amal perbuatan selain karena Allah, dan apa yang diikuti oleh hawa nafsu manusia. Peperangan antara jiwa dalam diri manusia ini akan terus berlanjut hingga akhir hayat (Abdurrazzaq, 1434H).

Baca juga:


Allah telah mengabarkan bahwa manusia yang beruntung adalah yang membersihkan jiwanya, dan manusia yang merugi adalah yang mengotori jiwanya (al-Syams, 9-10). Dengan kata lain, seseorang yang beruntung adalah ia yang selalu mengikuti al-nafs al-muthmainnah.

Aktifitas ini akan menekan al-nafs  al-ammarah dalam dirinya yang selalu mengajak pada keburukan. Karena itu, untuk menjadi golongan yang beruntung, dan memenangkan peperangan sepanjang hayat dalam jiwa manusia ini, Allah telah memberikan kunci agar al-nafs al-ammarah ini dapat selalu hidup dan menang dalam diri manusia dengan cara senantiasa berdzikir kepada-Nya (al-Ra’d, 28). 


Penulis: Nur Choerul Rizal, Penulis sedang menempuh S2 di Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta