Kemungkaran Semakin Merebak, Ini Cara Merubahnya

 

Kemungkaran Semakin Merebak, Ini Cara Merubahnya 


Syahadat.id - Allah menciptakan manusia sebagai penghuni bumi ini bertujuan untuk beribadah kepada-Nya dan untuk menegakkan keadilan. Demi mewujudkan tujuannya ini manusia diperintahkan untuk mempelajari isi al-Qur’an agar hidupnya terarah dan menjadi yang mulia. Dalam hal ini manusia dikategorikan menjadi dua. Pertama, golongan orang yang mulia (baik). Kedua, golongan   orang yang kurang baik prilakunya.


Untuk merubah sebuah tatanan masyarakat yang kurang baik prilaku dan sikapnya dibutuhkan ilmu dan sikap yang bijaksana sehingga tidak terjadi hal-hal yang tak diinginkan seperti timbulnya gesekan sampai menghilangkan nyawa seseorang. Pada prinsipnya untuk merubah sebuah kemungkaran harus dengan cara dan etika yang baik bukan dilawan dengan kemungkaran  seperti memukul bahkan mengancam dengan perkataan yang tak pantas diucapkan.


Dalam kitab at-Tibyan fi Nahyi an Muqata’at al-Ar’ham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan, KH Hasyim Asy’ari menjelaskan tentang hal yang menjadikan permusuhan yang menimbulkan perpecahan disebabkan perbedaan cara menyikapi sebuah masalah yang berawal dari arogansi diri yang telah dikuasai oleh nafsu atau dari bisikan syaitan, semua golongan merasa benar, paling pintar dan menyalahkan golongan lain.

Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin menjelaskan ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang ingin merubah sebuah kemungkaran, diantaranya adalah:


Pertama, harus dipastikan adanya kemungkaran tak boleh hanya dugaan semata.


Baca juga: 


Kedua, kemungkarannya masih ada eksistensinya belum ada yang mencoba merubahnya.

Ketiga, Kemungkarannya sudah merajalela dampaknya bagi masyarakat sekitar.


Keempat, adanya kesepakatan bersama tentang hal-hal yang masuk kategori ranah kemungkaran bukan atas dasar ijtihad individu.


Sedangkan menurut Imam Al-Mawardi dalam kitab al-Ahkam as-Sulthaniyyah menjelaskan bahwa ada larangan mencari kesalahan orang lain walaupun ia seorang pejabat yang berwenang menangani masalah tersebut kecuali bila ada tanda-tanda atau bukti yang menguatkan  prilaku kebiasaan masyarakat yang selalu berbuat kemungkaran atau kemaksiatan. Dalam sebuah hadits uang diriwayatkan oleh Imam Muslim



عَنْ أَبِي سَعِيْد الْخُدْرِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ  رواه مسلم

Artinya: Diriwayatkan dari Abi Sa'id Al-Khudri berkata: aku telah mendengar Rasulullah Saw bersabda: saat kalian melihat sebuah kemungkaran maka rubahlah dengan tanganmu. Jika kamu tak mampu maka dengan lisanmu. Bila kamu tak mampu maka rubahlah dengan hatimu, hal ini sebagai tanda lemahnya Keimanan. (HR. Muslim).


Dr. Musa Syahin dalam kitab Fathul Mun’im ala Syarh Shahih Muslim menjelaskan bahwa saat melihat kemunkaran yang telah merajalela maka sebaiknya ada yang mencegahnya terutama aparat yang berwenang, bila tak mampu, maka dengan nasehat yang baik. Bila  nasehat sudah tak digubris maka hatinya harus mengingkarinya walau hal itu tak merubah kondisi secara drastis.


Kemungkaran Semakin Merebak, Ini Cara Merubahnya 


Dalam Fatawa Dar al-Ifta’ al-Misriyyah menjelaskan tentang urutan atau tahapan yang harus dilakukan untuk merubah sebuah kemungkaran atau kemaksiatan.


Pertama, Merubah dengan tangan atau kekuasaan. Hal ini boleh dilakukan oleh pejabat atau pemerintah yang berwenang mengurusi masalah ini. Warga masyarakat tak diperbolehkan main hakim sendiri untuk mengatasi sumber kemungkaran yang berada di  daerah sekitar.


Kedua, merubah kemungkaran dengan lisan. Ini tugasnya para ulama' yang harus menjelaskan tentang dampak yang akan ditimbulkan.


Ketiga, Ingkar terhadap sebuah kemungkaran melalui hatinya. Ini dilakukan oleh masyarakat agar mereka tak main hakim sendiri. Bila masyarakat sudah bertindak dampaknya bisa timbul anarkis sehingga niat baik untuk merubah sebuah kemungkaran tak tercapai karena penyelesaiannya juga dengan cara yang kurang baik.


Imam As-Safarini dalam Ghida' Albab berpendapat bahwa cara inkar dengan hati maksudnya ia tak rela atas adanya kemungkaran itu serta berdzikir kepada Allah agar pelakunya segera insyaf. Niat baik yang dilakukan oleh seorang mukmin agar kemungkaran hilang dari muka bumi dicatat sebagai amal kebaikan 


Maka dari itu, untuk merubah sebuah kemaksiatan atau kejahatan harus dengan cara pendekatan persuasif terlebih dahulu terutama mengedepankan sikap yang bijaksana bukan dengan cara arogan yang akan memanaskan situasi.


Oleh: Moh Afif Sholeh