Kunci Mendapatkan Ketenangan Jiwa: Berfikir dan Berdzikir

 

Kunci Mendapatkan Ketenangan Jiwa: Berfikir dan Berdzikir

Syahadat.id - Allah SWT sebagai sang pencipta menjadikan manusia sebagai penghuni alam raya ini telah memberikan banyak fasilitas kepadanya, mulai fisik yang lengkap, juga akal yang sempurna sehingga mampu membedakan segala kebaikan maupun kejahatan dengan tujuan agar manusia menjadi makhluk yang mampu memegang amanat dan dan menebar keadilan kepada sesama.


Izzuddin bin Abdissalam yang dikenal dengan Sultan Ulama dalam Qowaid Sugranya menyatakan bahwa tujuan diutusnya para Nabi dan diturunkannya kitab suci adalah untuk mewujudkan kemaslahatan/ kebaikan kepada manusia serta menolak segala macam kerusakan yang akan terjadi.


Dalam hal ini beliau memetakan segala kebaikan dan keburukan yang terkait urusan akhirat maka harus di ukur dengan Mizan Al Syar’i (aturan agama) atau lebih mudah menggunakan istilah “Dzikir” dengan persepektif yang lebih luas, tidak hanya ingat kepada Allah melalui lisan saja, namun lebih mengaplikasikan ajaran agama-Nya dalam kehidupan ini, Sedangkan urusan dunia, maka di ukur dengan olah pikir menggunakan rasio/akal manusia yang dikombinasikan dengan pengetahuan, pengalaman, maupun adat kebiasaan.


Baca juga:




Maka beruntung orang yang mampu memadukan antara dzikir dan pikir. Apabila salah satu tidak terpenuhi maka akan terjadi ketidakseimbangan dalam hidupnya, ibarat burung yang patah salah satu sayapnya, maka tak mampu untuk terbang.

Kisah Syeh Abdul Qadir al Jilani

Ada kisah yang dialami oleh seorang ulama besar yang bernama Syeh Abdul Qadir al Jilani yang dituturkan oleh Abdul Wahhab As-Sya’roni dalam kitab Tabaqatnya: suatu ketika Syeh Abdul Qadir al Jilani pernah menemui kejadian aneh, yaitu datangnya cahaya terang dilangit dan menampakkan diri sambil mengatakan: 


Kisah Syeh Abdul Qadir al Jilani

“hai Abdul Qadir al Jilani, saya ini Tuhanmu, aku telah menghalalkan segala sesuatu yang telah diharamkan”. Abdul Qodir lalu berkata: “binasalah kamu orang terlaknat”. Akhirnya cahaya tadi berubah menjadi asap, dan berkata:” selamatlah engkau Abdul Qodir atas ilmu yang engkau miliki dan petunjuk Tuhanmu, sungguh aku telah menyesatkan 70 orang dengan kejadian seperti ini. 


Syeh Abdul Qodir ditanya:” dari mana engkau tahu bahwa itu syaitan, ia menjawab: dari ucapannya yang menyatakan bahwa aku telah menghalalkan segala sesuatu yang telah diharamkan. Syeh Abdul Qadir al Jilani memahami betul bahwa di dunia ini, Allah tidak akan menghalalkan sesuatu yang telah diharamkan. Dari kisah ini memberikan pengalaman yang luar biasa tentang pentingnya menggunakan akal manusia agar tidak terlena dari bujukan syaitan.


Di kota-kota besar yang notabenya masyarakatnya mengenal peradaban lebih maju dari pada di pedesaan atau perkampungan, dalam berbagai bidang, mulai pendidikan sampai urusan lapangan pekerjaan, seringkali mengalami kegundahan dalam urusan batin atau kekosongan spiritual mengakibatkan banyak masalah baru, terutama depresi yang tinggi, serta dirundung ketakutan. Maka solusi untuk menghadapi semuanya, antara lain:


Pertama, Memperbanyak bekal ilmu pengetahuan dalam bidang Agama sebagai dasar pondasi keyakinan, serta diterimanya ibadah, serta ilmu umum sebagai penopang kehidupan dalam mencari rizki, mulai cara membangun usaha atau keterampilan sehingga menghasilkan uang untuk mencukupi kehidupan sehari-hari.


Baca juga:


Kedua, Adanya keseimbangan untuk melengkapi kebutuhan materi dan spiritual sehingga tidak terjadi tumpang tindih yang berlebihan, materi sebagai bekalnya, spiritual sebagai ruh penyemangatnya. Hal ini sesuai dengan doa yang selalu dibaca, yaitu:


رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ


Artinya:


wahai Tuhan, berikanlah kami kebaikan di dunia dan akhirat, serta selamatkanlah kami dari siksa neraka.(Q.S Al Baqarah: 201)


Ibnu Abbas menjelaskan bahwa kebaikan atau keberuntungan di dunia meliputi, ilmu, ibadah, serta terjaga dari melakukan hal yang berdosa. Sedangkan kebaikan di akhirat merupakan puncak kenikmatan, yaitu diperkenankan memasuki surga dan menikmati segala kenikmatannya.(Tanwirul Miqbas, hal 28).


Maka dari itu ilmu menuntun manusia agar berfikir tentang dirinya, masa depannya, dikembangkan dengan dzikir dengan lisan dan segala tingkah laku disesuaikan dengan kitab suci sebagai aturan, sehingga terwujud impian kesuksesan dan keberhasilan di dunia dengan tercukupi secara materi dan ketenangan batin selalu terpenuhi, ditambah di akhirat kelak bisa selamat, sehingga mendapat nikmat yang lezat, serta dijauhkan dari siksaan yang menakutkan.


Oleh: Moh Afif Sholeh