"Jika" Sebuah Kata yang belum Tentu Memberi Kebahagiaan


 "Jika" Sebuah Kata yang belum Tentu Memberi Kebahagiaan

Syahadat.id - Berita terbaru mengabarkan  bahwa selebriti Bollywood, Sushant Singh Rajput ditemukan tewas menggantung diri sendiri di tengah pandemi. Dikatakan ia mengalami depresi sejak 6 bulan terakhir ini. Yang mengidolakannya sudah barang tentu kaget, shock. Karena sebenarnya ia sedang dalam puncak karir ketenaran di dunia keartisannya. Juga disebutkan, mantan manajernya telah lebih dulu melakukan bunuh diri dengan melompat dari gedung. Tidak diketahui apa masalah sang artis hingga nekat mengakhiri hidupnya, faktor lingkungan sedikit banyak pasti mempengaruhi. Memang tidak dipungkiri bahwa lingkungan memiliki segala cara untuk mendukung atau menolak kita.


Namun kita memiliki kuasa atas pikiran positif dan negatif yang akan kita jalani. Jika ketenaran yang diinginkan banyak orang itu mampu membuat orang bahagia, lantas kenapa sang artis memilih untuk mengakhiri hidupnya?


Jika kekuasaan bisa membuat bahagia, pastinya sang presiden Brazil Getulio Vargas tidak akan menembak jantungnya sendiri. Jika kecantikan bisa membuat bahagia, tentu Marilyn Monroe yang saat itu dinobatkan menjadi wanita tercantik di dunia tidak akan minum alkohol dan obat-obatan sampai overdosis. Jika kekayaan bisa membuat orang bahagia, seharusnya Adolf Merckle orang terkaya di Jerman tidak akan menabrakkan dirinya ke kereta. Jika ketenaran bisa membuat orang bahagia, dipastikan Michael Jackson tidak perlu minum pil tidur setiap malam hingga akhirnya overdosis.


Baca juga: Memaknai Musibah Pandemi Covid 19 dan Hikmah yang Perlu Dipetik


Masih banyak jika dan jika yang seolah mampu membuat seseorang di puncak kebahagiaan namun ternyata nihil, kebahagiaan itu tak berbekas sedikitpun. Sungguh betapa banyak kulit luar yang terlihat bahagia namun dalamnya kosong melompong tak tersisa. Betapa menggiurkan rumput tetangga yang sangat hijau, walau ternyata itu rumput palsu. Sungguh banyak hal yang mampu membuat kita iri padahal sejatinya justru orang lain yang iri kepada kita. Lantas bahagia seperti apa yang perlu dan harus kita dapat, kita kejar dan kita raih?.


Merasakan kebahagiaan memang menyenangkan, sungguh sangat menyenangkan. Namun satu hal yang perlu diketahui dan diingat, bahwa perasaan bahagia adalah bersifat sementara. Seperti anak kecil yang sangat ingin dibelikan sepeda baru, satu bulan atau 2 bulan awal memang anak tersebut terlihat bahagia. Namun coba 5 bulan setelahnya, sepeda itu akan terparkir di sudut tanpa ditoleh lagi. Terlebih ada mainan baru. Bukankah bahagia itu sementara?. Lebih lanjut dikatakan bahwa terus menerus mengejar kebahagiaan akan menjadi adiksi atau semacam kecanduan yang berbahaya.


Seseorang akan merasakan kebahagiaan atau kegembiraan saat pikiran, perasaan tercukupi, mendapatkan kesenangan, cinta, kepuasan, kenikmatan, atau kegembiraan yang intens. Intens disini menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) dapat diartikan sangat kuat, hebat, bergelora, berapi-api, penuh semangat. Jadi itu memang sebuah perasaan kuat dari dalam hati yang kita ketahui hati manusia mudah berubah. Maka saya sebut bahwa kebahagiaan itu bersifat sementara, tergantung bagaimana perasaan hati yang mudah berubah. 


Perempuan bahagia


Bahagia memang menjadi gol tersendiri bagi semua orang. Siapa yang tidak mau bahagia? Semua orang berjuang memperjuangkan kebahagiaannya bagi diri sendiri, anak, suami/istri, keluarga atau bahkan masyarakat (ini sekelas wakil rakyat yang harus memikirkan kebahagiaan dan kesejahteraan rakyatnya ya). Kembali ke laptop, lantas bahagia seperti apa yang harus kita dapatkan?


Jawabannya adalah sebuah teori mudah namun belum tentu semua bisa melakukan. Apakah itu? Ialah bersyukur. Hanya itu, hanya dengan mensyukuri apa yang telah kita dapat, kita raih maka rasa bahagia itu akan kita rasakan. Maka dalam agama Islam pun dianjurkan agar kita selalu merasa qana'ah, yaitu merasa cukup dengan apa yang ia miliki. Pun dengan bersyukur, Allah berjanji akan menambah nikmatNya.


Sebagai catatan akhir dari gambaran awal, ternyata bahagia tidak diukur dari kekayaan, kecantikan, ketenaran, kekuasaan, pandangan orang lain atau bahkan dari sekedar jika, tapi dari bagaimana hatimu merasa. Sudah seberapa bahagia hidupmu?


Penulis: Siti Rohimah, S.S.I, Penulis dan dan pengamat isu-isu perempuan.