Agar Masyarakat menjadi Tenteram, Berikut 3 Pesan Abu Darda’

 

3 Pesan Abu Darda’
 Agar Masyarakat menjadi Tentram, Berikut 3 Pesan Abu Darda’   


Syahadat.id - Kehidupan manusia selalu berubah dengan cepatnya. Detik menjadi menit, menit berubah menjadi jam, dari jam ke hari, minggu, sebulan, setahun dan seterusnya. Bila perubahan ini tak disikapi dengan baik, maka akan mengagetkan kita.


Tak terasa baru kemarin masuk sekolah dasar (SD) sekarang sudah SMP, yang smp sekarang sudah SMA, yang SMA tak terasa sudah mau masuk perguruan tinggi, atau hendak kerja, semuanya cepat berubah. Allah mengingatkan kita melalui banyak tanda diantaranya rambut mulai memutih.

Pertanyaanya adalah bagaimana kita menyikapi perubahan yang cepat ini?

Jawabannya adalah pergunakan sebaik-baiknya waktu yang kita miliki dengan didasari ilmu, sehingga kita selalu bisa berinovasi. berkat bekal imtaq (iman dan taqwa) menjadi benteng, tameng menghadapi kondisi apapun. Orang akan menjadi mulia bila mampu mengendalikan dirinya

Di dalam al-Qur’an al-Hasyr: 18

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ (18

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Baca juga:


Ayat ini memberi peringatan kepada kita agar selalu menyiapakan bekal yang banyak tak hanya untuk kepentingan dunia saja namun akhirat juga, maka sebaik-baiknya bekal yaitu ketakwaan. Imam al-Ghazali dalam karyanya kitab Ayyuha al-Walad pernah mengingatkan:

مَالَمْ تَعْمَلْ لَمْ تَجِدْ اَلأَجْرَ

Artinya:  Jika kamu tak kerja atau berbuat, maka jangan berharap gaji, pahala.


3 Pesan Abu Darda'

Manusia hidup di dunia ini tak mampu hidup sendiri, pasti membutuhkan orang lain, terbukti kalau kita fikir, makanan yang kita makan atas bantuan orang lain, ada petani, ada yang jual pupuk, ada yang mengantarkan, ada yang memanen, dll.

Begitu juga orang mati pun masih menyusahkan orang lain, terbukti orang yang hidup harus ada yang memandikannya, mengkafani, mensyalati maupun menguburnya, bila samapai ada yang tak menjelannkan, maka akan terkena dosanya, maka dari itu kita harus berbuat baik, agar tercipta ketentraman dan kedamaian dimasyarakat. Abu Dawud kitab az-Zuhd mengutip perkataan Abu Darda’ yang berbunyi:

قَالَ أَبُو الدَرْدَاء: لَوْلَا ثَلاَثٌ لَصَلُحَ النَاسُ : هَوَى مُتَّبَعٌ ، وَشُحًّ مُطَاعٌ ، وَإِعْجَابُ المَرْءِ بِنَفْسِهِ

Artinya: Seumpama tidak ada tiga hal ini, niscaya manusia pasti akan rukun, damai, tenteram, bahagia. Yaitu hawa nafsu yang selalu dimanja, sifat pelit yang selalu dipelihara, bangga akan amalnya.

Perkataan Abu Darda’ memaparkan tiga hal yang menjadikan bumi ini menjadi tenteram, yaitu:

Pertama, hawa nafsu yang selalu diumbar, terlalu dimanja, karena memang nafsu suka akan hal-hal yang dimanja, suka kejahatan, keburukan, dan cepat emosian. Misalnya: tetangganya beli avansa, mulutnya berbusa-busa. Sahabatnya beli apartemen pikirannya jadi sentimen. Tetangganya beli kulkas hatinya panas. Saudaranya beli motor hatinya tambah kotor. Temanya naik jabatan sikapnya seperti orang kesetanan.


Baca juga:

Kedua, pelit, medit, bakhil, tak hanya materi. Seringkali kita pelit untuk menyapa, untuk memulai salam, bahkan pelit kepada diri sendiri. Dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Nasa’I dalam kitab as-Sunan al-Kubra, Nabi bersabda:

قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْبَخِيلُ مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ. رَوَاهُ النَّسَائِي

Artinya: Rasullah bersabda: orang yang pelit adalah ketika disebut namaku (Nabi) maka ia tak mau membaca shalawat. (H.R Nasa’i).

Hadis diatas menjelaskan bahwa kategori pelit atau bakhil tak hanya dari segi materi saja, namun cakupanya lebih luas, bahkan bershalawat menjadi sangat penting ketika mendengar nama Nabi Muhammad.

Ketiga, ujub atau bangga diri, merasa dirinya orang baik, banyak amal ibadahnya. Padahal belum tentu amalnya diterima, bisa karena kurang syarat dan rukunnya atau bahkan tak mengetahui ilmunya.

Dari penjelasan diatas bisa dipahami bahwa adanya perubahan waktu yang sangat cepat harus ada inovasi dan disikapi dengan bijaksana, serta dikuatkan dengan keimanan agar tak tergelincir dari rel kehidupan sehingga tercipta sebuah tatanan masyarakat yang damai dan sejahtera.


Moh Afif Sholeh, M.Ag