Larangan Merasa Paling Baik, Ini Alasan yang harus Kamu Tahu

 

Larangan Merasa paling baik, Ini Alasan yang harus Kamu Tahu 

Syahadat.id - Agar tak tertipu bisikan syaithan dan nafsu maka diperlukan pemahaman agama secara komprehensif, menyeluruh sehingga tak mudah menyalahkan orang lain dan merasa paling benar bahkan sampai mengkafirkan orang yang berbeda dengan dirinya.

Dari sini pentingnya merenungi dan mengkaji ayat yang berbunyi,

أَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآهُ حَسَنًا فَإِنَّ اللَّهَ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ فَلَا تَذْهَبْ نَفْسُكَ عَلَيْهِمْ حَسَرَاتٍ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَصْنَعُونَ (8)


Artinya:

“Maka apakah orang yang dijadikan (syaitan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu dia meyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh syaitan)? Maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya; maka janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat,” (QS. Fatir: 8)

Menurut Syeh Wahbah az-Zuhaili dalam Tafsirnya yang berjudul at-Tafsir al-Munir mengutip pendapat sahabat Nabi yang bernama Abdullah bin Abbas yang menjelaskan tentang Asbab Nuzul ayat ini bahwa Nabi Muhammad  Saw berdoa sebagai berikut:

اللهم أعزّ دينَكَ بِعُمر بن الخَطابِ، أَوْ بِأَبي جَهْلٍ بن هِشَام


Ya Allah, berilah kemulian agamamu melalui Umar bin Khattab atau melalui Abi Jahal bin Hisyam.

Lantas doa yang dikabulkan oleh Allah dengan diberikannya hidayah kepada Umar bin Khatab dan Abu Jahal mendapatkan kesesatan atas yang ia lakukan. Dari kisah ini turunlah ayat ini.

Imam Ibnu Katsir dalam Tafsirnya menjelaskan bahwa orang-orang non muslim maupun orang yang dzalim telah melakukan kejahatan maupun kemaksiatan namun mereka merasa telah berbuat amal kebaikan.

Baca juga:



Sedangkan menurut imam Ibnu al-Jizzi dalam at-Tashil li Ulum at-Tanzil menjelaskan bahwa orang yang menghiasi diri dengan amal perbuatan yang jelek maka Allah telah menyesatkan kepada dirinya dan orang yang tak menghiasi diri dengan perbuatan yang buruk maka Allah telah menuntunnya kepada jalan kebenaran. Dari penjelasan ayat ini, Nabi diberikan ketenangan oleh Allah agar tak merasa bersalah dan tak terlihat susah saat kaumnya ada yang tak mau beriman karena hidayah maupun inayah datangnya dari Allah.

Imam as-Sullami dalam Tabaqat as-Shufiyyah mengutip penjelasan Syeh Muhammad bin Abi al-Ward tentang ayat diatas ditujukan kepada orang yang merasa baik padahal amal perbuatannya buruk. Menurut Izzudin bin Abdussalam dalam kitab Bayan Ahwal an-Nas Yaum al-Qiyamah menjelaskan bahwa kebanyakan manusia akan merugi dan sedikit sekali orang yang mendapatkan keberuntungan di dunia akhirat kecuali orang-orang yang memiliki beberapa kriteria. Pertama, memiliki iman yang kuat. Kedua, beramal kebaikan (shaleh). Ketiga, selalu berwasiat dalam kebenaran dan kebaikan. Keempat, selalu berwasiat untuk selalu sabar dalam menghadapi apapun.

Dari penjelasan diatas dapat dipahami bahwa seorang muslim dilarang membanggakan (ujub) akan amal perbuatan yang telah ia lakukan karena akan menghancurkan amal tersebut terutama fenomena saat ini banyak ahli maksiat merasa ibadahnya paling hebat begitu juga betapa banyak orang yang merasa dekat dengan Tuhannya tapi hakikatnya malah sangat jauh dari-Nya. Dari sini pentingnya interopeksi diri agar tak merasa paling baik dan yang paling benar.

Kebiasaan kurang terpuji ini sebaiknya segera dijauhi karena akan mendatangkan keburukan terhadap dirinya dan orang lain.


Larangan Merasa paling baik


Abu Abdurrahman As-Sulami dalam Tabaqat as-Sufiyah mengutip perkataan Mahfudh bin Mahmud (w. 303 H) yang berbunyi,

مَنْ أَبْصَرَ مَحَاسِنَ نَفْسِهِ اُبْتُلِيَ بِمَسَاوئ النَاسِ وَمَنْ رَأَىْ عَيْبَ نَفْسِهِ سَلِمَ مِنْ رُؤْيَةِ مَسَاوِئ النَاسِ

Barangsiapa yang mengetahui kebaikan-kebaikan yang ada pada dirinya maka ia akan diuji dengan mengetahui keburukan orang lain. Barangsiapa melihat kekurangan atau aib dirinya maka ia akan terhindar dari keburukan orang lain.

Baca juga:



Menurut Imam Zarruq yang dikutip oleh Imam al-Munawi dalam Faidhul Qadir menjelaskan bahwa prasangka yang kurang baik timbul dari hati yang buruk bukan dari Tuhannya atau dari orang sekitarnya.

Dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, Imam Al-Ghazali memberikan nasehat yang inspiratif saat hati mulai berpersangka buruk kepada orang lain, hal tersebut berasal dari bisikan syaitan maka sebaiknya tak usah diikuti.

Dari sini, pentingnya mengoptimalkan peranan antara akal dan hati manusia sebagai penangkal dari bisikan maupun pengaruh buruk sekitarnya serta selalu berintrospeksi diri agar dirinya sadar akan banyak kekurangan sehingga tak merasa paling baik juga tak mudah mengkafirkan orang lain .


Oleh: Moh Afif Sholeh

Alumnus Pascasarjana Institut PTIQ Jakarta